DISTRIBUSI SALINITAS VERTIKAL DAN KONVEKSI THERMOHALINE

DISTRIBUSI SALINITAS VERTIKAL DAN KONVEKSI THERMOHALINE

Hari ini Materi Perkapalan kembali berbagi artikel mengenai DISTRIBUSI SALINITAS VERTIKAL DAN KONVEKSI THERMOHALINE yang sebelumnya juga sudah berbagi artikel tentang DISTRIBUSI SALINITAS SECARA HORIZONTAL. Secara umum pengertian SALINITAS adalah tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Salinitas ini dapat mengacu pada kandungan garam didalam tanah. Distribusi secara vertical terjadi dengan semakin bertambahnya kedalaman. Pola distribusi vertikal menurut Ross (1970) dalam Rosmawati (2004), sebaran menegak salinitas dibagi menjadi 3 lapisan yaitu lapisan tercampur dengan ketebalan antara 50-100 m dimana salinitas hampir homogen , lapisan haloklin yaitu lapisan dengan perubahan sangat besar dengan bertambahnya kedalaman 600-1000 m dimana lapisan tersebut dengan tegas memberikan nilai salinitas minimum. Sebaran Salinitas Terhadap Kedalaman (Lalli,1997).

Angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara vertical. Di wilayah Indonesia sistem angin muson berpengaruh bagi sebaran salinitas perairan secara vertikal maupun horizontal. Angin tersebut menyebabkan arus yang membawa massa air seperti arus yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tinggi salinitas yang berasal dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores dapat mengakibatkan meningkatnya salinitas di Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas yang rendah yang diakibatkan adanya run-off dari sungai besar di Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.

Adapun faktor selain angin yaitu pengadukan. Pengadukan dalam lapisan permukaan seperti upwelling dapat memungkinkan salinitas menjadi homogen. Upwelling mengangkat massa air dengan tingkat salinitas tinggi di lapisan dalam dan mengakibatkan naiknya tingkat salinitas permukaan perairan.

Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.

Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Ada 3 sumber utama garam-garaman yang ada di laut yaitu pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik serta sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) yang ada di laut dalam.

Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ini ditetapkan pada tahun 1902 yaitu jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida. Sehingga penetapan tersebut mencerminkan bahwa proses kimiawi titrasi menentukan kandungan klorida.

Salinitas ini ditetapkan tahun 1902 sebagai jumlah total dalam bentuk satuan gram bahan yang terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi. Jadi hubungan antara salinitas dan klorida dapat ditentukan melalui rangkaian pengukuran dasar laboratorium yang berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia.

Dinyatakan sebagai:


S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902)

Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram air laut.

Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus:

S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969)

Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang sama dengan definisi sebelumnya.

"Salinitas praktis dari suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik yang dilambangkan dengan huruf K besar (K) sampel air laut pada temperatur 15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), pada bagian massa KCl yaitu 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang sama. Rumus definisi ini:

S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2

Catatan :
Dari penggunaan definisi ini, salinitas dinyatakan sebagai rasio, maka satuan o/oo tidak lagi berlaku, sehingga nilai 35o/oo ini berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan "psu" untuk menuliskan harga salinitas merupakan singkatan dari "practical salinity unit". Karena salinitas praktis itu adalah rasio maka sebenarnya tidak memiliki satuan, jadi penggunaan satuan "psu" sebenarnya tidak mengandung makna apapun/diperlukan.

Salinitas di daerah subpolar rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap suatu kedalaman tertentu. Di daerah subtropis atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o - 40oLU atau 23,5o - 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

Konveksi thermohaline

Konveksi thermohaline didefinisikan sebagai pergerakan air secara vertikal yang terjadi karena terganggunya kestimbangan hidrostatik dari suatu perairan akibat naiknya densitas pada lapisan permukaan, kenaikan densitas ini dapat disebabkan oleh penurunan suhu (pendinginan). Kenaikan salinitas (evaporasi) atau kedua-duanya secara bersamaan

Belum ada Komentar untuk "DISTRIBUSI SALINITAS VERTIKAL DAN KONVEKSI THERMOHALINE"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel